Jumat, 06 April 2012

Jadi nomor satu (lagi?)


Jadi nomor satu (lagi?) 
Ini sebenarnya pertanyaan yang sangat menggelitik, menilik apa dan siapa yang dijadikan obyek pertanyaan. Ya, Demak, kota kabupaten yang berada sekitar 25 km arah timur dari Ibukota Jawa Tengah, Semarang, dulu sempat menjadi KOTA NOMOR SATU di pulau Jawa.
Berawal dari sebuah daerah rawa yang kemudian “disulap” oleh seorang visioner sejati, Raden Patah, menjadi sebuah kasultanan dengan rentang wilayah kekuasaan hampir 90% pulau Jawa, yang berhasil menaklukkan kerajaan Hindu terbesar saat itu, Majapahit.
Kota Demak kala itu berkembang dengan sangat pesat, dari segala sisi kehidupan, baik dari perekonomian, hingga ke pengaruh politis militeristik. Bahkan, Demak kala itu ibarat ibukota negara di pulau Jawa, karena disinilah tempat syuro / rapat dewan Wali, atau lebih dikenal sebagai Walisongo, dalam merumuskan gerakan dakwahnya.
Armada perang pasukan Demak sangat dikenal kepiawaiannya, bahkan saat itu, Demak tercatat pernah memiliki pabrik galangan kapal terbesar se Asia Tenggara dengan produksi mencapai 1000 kapal per bulan dengan kapasitas 1600 ton. Sungguh jumlah yang sangat menakjubkan, sebagai perbandingan, galangan kapal terbesar di Indonesia masa penjajahan Belanda hanya mencapai 6 kapal dengan kapasitas 140 ton/ bulan. ( Parlindungan, buku Tuanku Rao hlm 659)
Sayang, konflik internal memusnahkan itu semua. Lambat laun, pengaruh Demak menghilang, bahkan meredup hingga tak terdengar lagi, kalah jauh dari “cucu-cucunya” yakni Mataram, baik di Surakarta maupun Yogyakarta.
Kini, sejarah diatas hampir menjadi sebuah legenda, atau bahkan terasa sebagai karya non fiksi akan betapa hebatnya kiprah Demak. Generasi Demak sekarang mungkin akan terasa sangat asing mendengar nama Sultan Demak ke-2, ke-3, atau bahkan ke-4. Yang diketahui mungkin hanya Sultan Fatah, itu pun hanya sejauh namanya saja, bukan tentang sejarah hidupnya, visinya, pola pemerintahannya, jadi belum sampai taraf mengenal.
Coba saja tanyakan kepada anak-anak SD, SMP, atau bahkan SMA tentang sejarah Demak, kapan berdirinya, sejauh mana luas wilayahnya, kapan Masjid Agung Demak didirikan, yang mana soko tatal, yang mana lawang bledek, dll, niscaya jawaban tergagap lah yang akan kita dengar.
Bukan salah mereka, karena semua peristiwa bersejarah diatas sangat jarang disampaikan kepada mereka, atau mungkin malah tidak pernah. Yang terpampang didepan mereka adalah sebuah daerah satelit, yang hanya menjadi penghubung antara Semarang dan Kudus. Bukan sebuah kawasan berpengaruh. Bahkan yang lebih didengar adalah olok-olok yang penulis sangat tidak setuju, yang berkaitan dengan adanya sungai irigasi di sepanjang pantura antara Semarang – Demak, serta ada satu lagi tentang “mongso rendeng mongso ketigo”.
Menjadi nomor satu lagi tentu bukan perkara yang mudah, tapi bukan mustahil untuk dilakukan. Setidaknya dengan mengenalkan sejarah Demak ke para siswa tersebut, dengan cara yang atraktif, banyak studi lapangan. Sepengetahuan penulis, saat ini jarang terlihat studi lapangan yang dilakukan siswa ke areal Masjid Agung Demak dan makam Sunan Kalijogo di Kadilangu, padahal, ini adalah tujuan wisata yang sangat terkenal di Nusantara. Sebuah data pernah menyebutkan bahwa jumlah wisatawan yang mengunjungi Masji Agung Demak, hanya kalah jumlah dengan pengunjung Borobudur. Sekitar 800.000 pengunjung setiap tahunnya.
Ini sebenarnya merupakan celah peluang. Bayangkan saja, jika setiap warga Demak, dari anak-anak hingga para sesepuh menguasai budaya Demak, dari total sekitar 1 juta penduduk Demak, kita ambil 25% saja yang aktif, maka ada sekitar 250 ribu guide wisata yang siap menyampaikan kebesaran Demak.
Ini sebenarnya merupakan strategi jangka panjang untuk membangkitkan Demak kembali. Jika para guide tersebut mampu memberikan kesan mendalam bagi para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, tentu saja akan terjadi viral marketing yang sangat menguntungkan. Demak bukan hanya menjadi daerah “wisata 30 menit”, yang hanya diisi tahlil di makam saja, namun mampu memberikan sebuah pengalaman religius.
Tak kenal maka tak sayang. Dengan mengenal Demak mulai dari sejarah berdirinya, hingga keruntuhan kasultanannya akan menjadi modal berharga bagi kita generasi Demak sekarang untuk lebih sadar akan potensi yang dimiliki. Tidak untuk tenggelam dalam romantisme sejarah, tapi terlecut untuk mencapai taraf yang sama atau bahkan melampauinya.
Aamiin.
Sahirul iman
Lahir di semarang 3 juli 1981, dibesarkan di Demak, bersekolah disini, dimulai dari SDN Katonsari 3, berlanjut ke SMPN 1 Demak, dan kemudian ke SMAN 1 Demak.
Sekitar 10 tahun di Jakartauntuk kuliah dan bekerja, tetap tidak bisa membuatnya melupakan kota Demak. Kembali ke kota tercinta ini pada tahun 2010 untuk kemudian membangun sebuah komunitas DEMAKREATIF.
Selalu yakin, bahwa Demak akan segera bangun dan turut memberi warna bagi kehidupan Nusantara.

Tetap kreatif dan menginspirasi

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda