KAOS KAKI (dimuat di majalah ANNIDA)
KAOS
KAKI
By
Dian Nafi
“Haji itu harus dengan uang yang halal”
Kata-kata itu terngiang di benakku.
Aku memandangi kaos
kaki basah yang kuseret dengan hati remuk. Hiks. Adakah ini pertanda ada yang
kurang bersih dalam uangku yang kugunakan untuk berhaji.
Airmataku juga meleleh,
tak terhindarkan. Aku berjalan antara shofa marwa dengan perasaan hancur. Adakah aku ini suci dzohir
batin ataukah seperti yang kusangkakan pada diriku sendiri, aku setengah bersih
setengah kotor. Mungkin seperberapa bersih seperberapa kotor.
Salahku juga tadi tidak
membawa kaos kaki cadangan. Sehingga kaos kaki yang kupakai terpaksa basah
karena tak kulepas selama aku masih dalam kondisi ihram melakukan umroh ini.
Dan kenapa aku ragu kaos kaki ini masih suci atau tidak, karena aku pergi ke
hammam / kamar mandi untuk buang air kecil. Hanya di dalam kamar mandi
tertutup, aku bisa membuka kaos kaki sebelum melakukan hajat itu. Tetapi selama
melewati ruang hammam yang terbuka, aku tidak mungkin melepaskannya. Jadi siapa
tahu di lantai ruang hammam yang terbuka itu suci semua, meski petugas
kebersihan selalu berusaha membersihkannya. Siapa yang tahu? Siapa tahu tetap
ada yang tidak suci sepanjang jalan itu, dan ada yang nyangkut atau meresap di
kaos kaki basahku?
Astaghfirullah.
Membayangkannya saja, aku meringis, pilu. Bagaimana kalau tahu kenyataannya.
Dan hatiku yang sensitive, yang selalu menghubungkan suatu peristiwa dan
keadaan dengan tingkah lakuku sendiri, berderak. Hatiku berdecit. Merintih.
Astaghfirullah. Ampuni aku ya Allah, atas semua dosa,kesalahan, kekhilafan,
keberanian melanggar laranganMu. Ampuni aku ya Allah,ampuni aku.
Aku berjalan sepanjang
shofa marwa dengan kaos kaki basah yang entah kesuciannya dengan berlinang air
mata. Sa’i yang tak mungkin kubatalkan begitu saja karena ini sa’i dalam umroh
wajib yang sedang kulakukan. Tinggal sedikit lagi perjuangan, kemudian tahalul
bercukur dan aku baru bebas. Selesai. Paripurna. Dan aku baru bisa melepas kaos
kaki itu.
Yang terus berkecamuk
dalam kepalaku adalah kemungkinan –kemungkinan tercampurnya uang hajiku dengan
penghasilan yang kurang halal sepenuhnya. Hiks.
Dan kaos kaki basah
yang entah itu membasahi dan mungkinkah mengotori, astaghfirullahaladziim
semoga tidak, rute sepanjang shofa marwa. Apakah itu artinya aku mengotori
rumah Allah ini, masjidil haram. Dan membuat beberapa orang yang berjalan di sepanjang bekas jejak kaos kakiku
ikut terkotori,astaghfirullah. Betapa dosa membawa dosa dan menambah dosa di
atas dosa. Kotor menularkan kotor, menambah salah di atas salah.
Astaghfirullaaaaah……………hatiku remuk redam.
Apakah ada uang yayasan
yang dititipkan padaku sebagai bendahara ada yang terlewat pembukuannya,
meskipun sedikit? Dan karenanya,uangku sedikit tercampuri? Aku mulai
menduga-duga.
Sebenarnya menjadi
bendahara yayasan untuk periode lama, karena belum pernah diganti selama empat
kali periode, amat berat bagiku. Ada banyak pengeluaran di luar pengeluaran
resmi, seperti bensin,waktu dan tenaga yang kugunakan untuk mengambil uang sewa
kios – kios milik yayasan setiap bulannya. Sebelumnya tak terbersit tentang hal
ini, tetapi hembusan dari ibuku membuatku mengindahkannya. Lalu mulai
memasukkan pengeluaran ini sejak entah kapan. Hanya dua ribu rupiah sih per
bulan. Tetapi dengan akumulasi sekian lama, beberapa tahun, jumlahnya mungkin
jadi tidak sedikit lagi. Apakah itu yang mengotoriku? Mengotori uangku?
Termasuk yang kugunakan untuk membayar ongkos haji?
Kepalaku
menggeleng-geleng sendiri, menyadari kemungkinan datangnya kotor itu. Entahlah.
Ataukah karena
kadang-kadang aku tidak sepenuhnya merampungkan tugas desain dari klien dengan
optimal? Kadang karena diburu deadline atau mengerjakan sesuatu sambil momong
anak-anak, aku mengerjakannya asal saja? Apakah yang seperti itu termasuk
mengotori ?entahlah.
Aku terus meraba-raba.
Tapi sedih, itu yang jelas kurasakan.
Menangis meratap di
ujung bukit marwah di akhir perjalanan sa’iku. Bersujud di batu – batuan di
sana sambil merintih. Alangkah pilu dan pahitnya rasa berdosa.
Aku pulang ke maktabku
di Hafair dengan masih berlinang air mata. Sembab dan masih dengan hati yang
meleleh.
Atau…..ah,aku ingat.
Aku ingat kejadian beberapa hari lalu sehubungan dengan kaos kaki. Apakah itu
penyebab semua kekacauan dan kegelisahanku ini?
Entahlah
**
“Wah, nduk. Kaos kakiku bolong”
Mbah Karmi, perempuan
tua yang satu kamar denganku di maktab, menunjukkan jempolnya yang keluar
nongol dari dalam kaos kakinya.
Aku mengintip sedikit isi
tas cangklong biruku yang selalu kubawa ke mana mana selama haji ini.
Ada. Aku masih membawa
kaos kaki cadangan. Tetapi ah, aku segan dan ogah meminjamkan kaos kakiku untuk
mbah Karmi. Kenapa ya? Kenapa ogah? Mungkin sifat pelitku yang mendarah daging
selama tinggal di Indonesia tetap belum mau pergi meski sekarang sedang berhaji
di haromain.
“Hmm..gimana ya mbah?”
“Ya…aku tidak bisa
thawaf dengan kaos kaki berlubang”
Mbah Karmi
menepi,menjauhi ka’bah.
Dan aku?
Aku tak juga punya
kesadaran untuk meminjamkan kaos kaki cadanganku kepadanya.
Pelit dan juga
sifat-sifat lain yang negative ternyata memang susah sembuhnya.padahal
pembekalan waktu sebelum haji jelas sekali dikatakan bahwa shodaqoh kita selama
perjalanan haji akan dilipatgandakan. Bahkan sampai puluhan ribu kali lipat.
Tapi ya itu, susah saja untuk tidak pelit.
Jadi kebiasaan kita
selama hidup akhirnya menentukan akhir dari kehidupan kita, ya seperti itu
mungkin kejadiannya. Kita sadar kalau perbuatan ini baik, sikap ini buruk,
tetapi bawah sadar kita yang lebih bicara.
**
“Jadi tidak kau
pinjamkan kaos kakimu untuk mbah Karmi?”
“Tidak”
“Menyesal?”
“Banget. Apalagi setelah peristiwa kaos kaki basah itu.”
“Banget. Apalagi setelah peristiwa kaos kaki basah itu.”
“Kamu
menyangka kaos kaki basah itu karena karma tidak meminjamkan kaos kakimu?”
“Iya.
Mungkin. Mungkinkah?”
“aku
tak tahu”
Malaikat
itu terduduk. Memegang sepasang kaos kaki.
“Kamu mungkin lupa kisah
itu. Kisah seorang pelacur memberi minum seekor anjing menggunakan sepatunya”
“Aku ingat. Seorang
sahabatku mualaf bahkan terus menerus mendengungkan cerita itu padaku. Cerita yang
sangat menyentuh hatinya. Menurutnya itu adalah metafora paling hebat.
Bayangkan,katanya. Gambarannya adalah seorang pelacur, seseorang yang dianggap
hina dina. Kehausan, kondisi yang menyedihkan. Memberi minum pada seekor
anjing, binatang yang dianggap najis. Pakai sepatu lagi meminumkannya, sesuatu
yang dipakai di kaki, di injak-injak. Sudah total itu super jelek-jelek, tetapi
dengan semua itu, ia sang pelacur masuk surga. Subhanallah….. sahabat saya yang
mualaf terus- terusan bertasbih dan kagum. Mungkin kisah itu juga yang
menariknya hingga ia masuk Islam. Menurutnya metafora air sebagai yang
diberikan pelacur kepada anjing artinya adalah kehidupan”
“Kamu tahu kisah itu”
“Dan ikut sekali lagi
terkagum-kagum karena sahabat saya yang mualaf membahasnya sedemikian rupa”
“Apa simpulannya?”
“kedermawanan pelacur
itu menjadi sebab ia dimasukkan ke surga”
“kamu tahu?”
“Iya.”
“Lalu kenapa tidak memilih menjadi
dermawan saja?”
“Iya.kenapa
tidak? Lupa.”
“halah! Alasan!”
“halah! Alasan!”
“Iya,
saya pelit. Saya mengaku”
“Hanya
untuk kaos kaki”
“Iya”
“Hanya
untuk dipinjamkan. Bukan untuk diberikan.”
“Iya”
“Nhah!”
Aku terduduk. Termangu. Menatap sepasang
kaos kaki yang dipegang malaikat itu. Penyesalanku semakin dalam. Melebihi
penyesalan saat aku harus menyeret kaos kakiku sepanjang shofa marwa kala itu.
Tak ada lagi kesempatan kini kembali
untuk merubah semuanya. Takkan ada kesempatan lagi. Aku bahkan tak mampu
menangis lagi, meratap lagi. Ini terminal sebelum terminal akhir. Bagaimana
nasibku?
“Aku tidak jadi masuk surga?
Demikiankah?”
Terlalu lancang pertanyaanku. Tetapi aku
penasaran.
“kamu masih ingin masuk surga?”
“tentu saja”
“Kenapa?”
“karena Dia ada di surga kan?”
“Apa Dia tidak ada di neraka? Katamu,
Dia ada di mana – mana”
Aku terdiam. Siapalah aku? Aku bahkan
tidak mengenal Dia dengan baik,mungkin malaikat ini benar.
“Dia ingin kamu menemuiNya”
“What?!! Beneran? Di neraka ya…?”
Kata terakhirku melemah dengan nada yang
sangat sangat putus asa.
“Di mana kamu ingin ketemu?”
“Ya, di surga lah”
“Ya sudah deh.”
“Oh ya?”
Aku hampir berteriak kegirangan, namun
urung karena teringat sesuatu……
“Kaos kaki itu?”
Sudut mataku melirik sepasang kaos kaki
yang dipegangnya.
“Hmmm… ibu mertuamu, ingat?”
“Ya.kenapa dengan ibu mertuaku?”
“Dia pernah membuang kaos kakimu yang
tergeletak sembarangan di rumahnya”
“Oh…? Aku tak tahu itu”
“Memang kamu tak tahu. Ketika ia haji ke
Mekkah, penyesalannya karena pernah membuang kaos kakimu tanpa sepengetahuanmu
menjadi jadi. Dia kemudian membeli sepuluh lusin kaus kaki di sana dan dia
bagikan. Dia sedekahkan atas namamu”
“Oh….Subhanallah….Subhanallah..”
“Di mana ibu mertuaku?”
Tiba-tiba aku kangen beliau. Kadang rasa
benci dan cinta bersatu. Memang demikian menantu dan mertua ditakdirkan
berhubungan, cara yang aneh.
“sudah di surga, menantikanmu juga.
Pergilah ke sana dan berterima kasihlah atas shodaqoh kaos kaki yang dilakukannya
untukmu.”
Senyumku mengembang. Sesaat kemudian
sempat melirik sepasang kaos kaki yang dibawa malaikat, sebelum kakiku
melangkah melewati pintu masuk ke surga.
“Ini kaos kakiku”
Sang malaikat menyeringai mengolok –olok
aku. Oh…..
Biodata
Penulis.
Dian Nafi. Pecinta purnama, penikmat hujan. Setia
dalam pencarian, penjelajahan. Pimred Majalah Digital De Magz. Pemenang Favorit
Lomba Cerpen ROHTO 2011. Menang Lomba Menulis Bareng Ahmad Fuadi-penulis Negeri
Lima Menara. Dan berbagai lomba menulis lainnya. Penulis Novel Mayasmara dan 8
buku solo-duet serta 47 Antologi lainnya. Di antaranya: Twinlight
(KotaKata) Titik Balik (Leutika), LL Serendipity (IndiePublishing) Be Strong
Indonesia (#writers), Para Guru Kehidupan (Gerai Buku) Bicaralah Perempuan (Leu
Prio) For The Love of Mom (Etera Imania)Karyawan Gokil (Rumah Ide),Dear Love
(Hasfa) Balita Hebat (Jendela-Zikrul Hakim), Man Jadda Wada Series- Berjalan
Menembus Batas (Bentang), Storycake for Ramadhan (Gramedia Pustaka Utama) 101
Ide Bisnis Online (GPU), Gado-gado Poligami (Elex Media) Twit@ummihasfa.
Label: cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda