Sabtu, 23 Mei 2020

Megengan: Bincang Budaya RRI dan Dian Nafi

Megengan: Bincang Budaya RRI dan Dian Nafi

dian nafi


Tanggal 7 Mei 2020 jam 16.00 WIB sampai selesai, ada topik tentang Megengan saat acara  Bincang Budaya RRI dan Dian Nafi



Megengan tradisi masyarakat jawa pada umumnya khususnya di jawa tengah, jawa timur, dan yogyakarta dalam menyambut bulan Ramadhan, megengan diambil dari bahasa Jawa yang artinya menahan. Ini merupakan suatu peringatan bahwa sebentar lagi akan memasuki bulan Ramadhan
Megeng berarti menahan diri. Mengenali jati diri. Terkendali di jalan Ilahi. Megengan wujud syukur menyambut bulan Ramadhan suci, dg silaturahim & memaafkan. Tersimbol dalam ritus kue ‘afwan. Lisan Jawa jd apem

Tiap menjelang Ramadan ada tradisi ‘punggahan’ atau ‘megengan’. Tiap rumah bawa makanan ke masjid/musholla buat didoain bareng. 

Megengan ala covid-19. Didongani sendiri, diantar ke tetangga satu per satu. biasane cukup dibawa ke musala...

Kue apem merupakan simbol permohonan ampun untuk segala dosa & kesalahan yg pernah diperbuat. Kue Apem biasa dihadirkan dlm ritual 'Megengan'. Megengan dilaksanakan dlm menyambut datangnya bulan suci Ramadhan & sbg bentuk syukur atas nikmat yg diberikan oleh Allah SWT.


Megengan berasal dari kata dalam bahasa Jawa ‘megeng’ yang artinya menahan. Dalam konteks ini, megengan memiliki filosofi menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, amarah dan hawa nafsu lainnya yang tidak diperbolehkan selagi menjalankan ibadah puasa.

Masih belum diketahui secara pasti, sejak kapan tradisi ini lahir dan mulai berkembang di masyarakat. Menurut Prof. Dr. Nursyam, M.Si, akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Surabaya, ada dugaan kuat bahwa tradisi ini diciptakan oleh para Wali Sanga, khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga.

Wali sanga memang dikenal ramah dalam menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Mereka banyak menggunakan cara-cara simbolik yang dekat dengan budaya masyarakat saat itu. Tradisi megengan sendiri disinyalir merupakan akulturasi antara budaya yang kental dengan masyarakat Jawa dan ajaran Islam.

Alasan wali sanga menggunakan akulturasi budaya dalam proses dakwahnya adalah, karena di masa-masa awal penyebaran agama Islam di Nusantara, masyarakat masih sangat kental dengan beragam tradisi yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan mereka.

Jika Islam diajarkan secara frontal, dikhawatirkan masyarakat akan menolak kehadirannya. Di situlah bukti kreativitas wali sanga. Mereka sangat piawai membungkus dakwahnya dengan berbagai hal yang dekat dengan masyarakat.

Begitu pula dengan megengan yang dibungkus melalui tradisi upacara atau slametan yang sudah umum berkembang di masyarakat kala itu. Bila ditilik lebih jauh simbol-simbol yang ada dalam tradisi tersebut, makna sebenarnya adalah Melakukan persiapan secara khusus dalam menghadapi bulan yang sangat disucikan di dalam Islam.

Label: , , , , , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda