Mata Api
Mata Api
Putri Campa menahan napas, berusaha keras menyembunyikan rasa panas dalam hatinya. Sudah tak terhitung banyaknya nyinyiran dan cemooh yang dia dengar dari permaisuri, pendamping utama raja brawijaya V yang beberapa bulan ini menjadi suaminya juga.
Kalau saja Putri Campai tidak ingat tujuan utamanya berasa di sini, tentlah dia akan menyerang perempuan yang dilanda cemburu itu. Yang Putri Campa tak habis pikir, kenapa dari semua selir sang prabu, hanya dirinya lah yang terus menerus digempur. Kena berbagai tuduhan dan terutama tatapan mata apinya yang membakar.
Sembari menahan kalut dalam dadanya, Putri Campa mengemasi satu persatu barang miliknya. Sekarang dia tak lagi punya banyak pilihan. Sang prabu sudah memutuskan bahwa dia harus pergi dari istana Majapahit ini. Meskipun perutnya sudah makin membesar. Mungkin juga justru kehamilan inilah yang membuat permasisuri makin bernafsu menyingkirkannya. Walaupun kalau dipikir-pikir, kenapa harus Putri Campa yang pergi, sedangkan selir lain tidak. Kenapa bayi dalam kandungannya ini yang harus disingkirkan, padahal ada anak-nak lain juga dari sang Prabu keturunan seliri yang punya kedudukan sama dengannya dan sang calon jabang bayi. Apa karena calon jabang bayi ini bakal jadi anak ketiga belas bagi sang Prabu? Apa hubungan angka ketiga belas dengan pengusiran ini? Apakah dia dianggap akan membawa kesialan?
Putri Campa mengelus perutnya dan membisikkan kata-kata yang lembut serta bijak bagi bayi yang dikandungnya.
Anakku, calon anakku, yang sabar ya nak. Yang sabar akan menang. yang sabar disayang Tuhan.
Perempuan muda berkulit putih dan bermata sipit dengan bulu mata lentik itu menyenandungkan beberapa lagu buaian yang dia pernah dengar dari ibunya juga para kerabatnya, yang jauh di Champa. Tentu mereka mendapatkan lagu-lagu penuh harapan dan doa itu dari para leluhurnya . ataukah mereka menggubahnya sendiri?
Tak urung air matanya leleh juga. Rasa kerinduan menyeruak dalam dadanya. Berdesak-desakan dengan rasa teraniaya yang selama ini terus dipendamnya sendiri. Tak ada tempat dia mengadu, berkeluh kesah, apalagi meminta pendapat.
Sambil mengelap basah pipi dan dagunya, Putri Campa menata barang-barang berharga miliknya dalam tas anyaman rotan. Kain-kain pemberian ayah ibunya, beberapa perhiasan dan koin-koin emas yang selama ini dia simpan dengan baik di tempat-tempat tersembunyi.
Dengan penuh kehati-hatian, dia mulai memasukkan juga satu persatu piring porselen cantik yang dia bawa dari Champa. Piring-piring porselen putih berlukiskan stilisasi flora dan fauna. Jari jemarinya meraba tekstur yang menonjol dari kuasan cat biru muda gradasi ke tua di permukaan piring porselen favoritnya. Stilisasi burung hong. burung phoenix. Dia pernah mendengar cerita dan dongeng tentang burung hong atau phoenix ini. Konon katanya meski sudah mati terbakar, burung hong dan phoenix bisa kembali hidup.
Dia ingin seperti burung hong. Dia ingin seperti burung phoenix. Meski dia dimatikan keberadaannya saat ini, meski dia dibunuh, dibakar, ditiadakan, dibuang, diusir, diungsikan, dicampakkan, dia masih akan hidup terus. Hidup lagi.
Meski sekarang dia harus pergi ke suatu tempat yang jauh bahkan menyeberangi lautan, sempat dia dengar namanya bumi Sriwijaya, dia berharap suatu saat dia akan kembali ke sini. Dia berharap akan bisa pulang.
Label: budaya, campa, cerita, cerpen, dian nafi, novel, novela, putri campa, sastra, sejarah, story