Minggu, 12 Februari 2023

Kursus Menulis Cernak Cerita Pendek untuk Anak

 Kursus Menulis Cernak Cerita Pendek untuk Anak




Apakah kemerosotan moral menjadi salah satu hal yang juga mengganggu dan menggelitik pikiranmu?

Apakah kamu juga ingin berperan serta dalam mencegah kerusakan yang lebih parah bagi generasi penerus negeri tercinta ini? 

Yuk ikuti kelas menulis cerita anak bersama dian nafi

Cerita Anak juga berperan penting bagi pembentukan karakter dan people development serta personal growth. 



Berikut kelas menulis cernak di udemy: 


Label: , , , , , , , ,

Minggu, 10 Mei 2020

Mata Api

Mata Api


Putri Campa menahan napas, berusaha keras menyembunyikan rasa panas dalam hatinya. Sudah tak terhitung banyaknya nyinyiran dan cemooh yang dia dengar dari permaisuri, pendamping utama raja brawijaya V yang beberapa bulan ini menjadi suaminya juga.
Kalau saja Putri Campai tidak ingat tujuan utamanya berasa di sini, tentlah dia akan menyerang perempuan yang dilanda cemburu itu. Yang Putri Campa tak habis pikir, kenapa dari semua selir sang prabu, hanya dirinya lah yang terus menerus digempur. Kena berbagai tuduhan dan terutama tatapan mata apinya yang membakar.
Sembari menahan kalut dalam dadanya, Putri Campa mengemasi satu persatu barang miliknya. Sekarang dia tak lagi punya banyak pilihan. Sang prabu sudah memutuskan bahwa dia harus pergi dari istana Majapahit ini. Meskipun perutnya sudah makin membesar. Mungkin juga justru kehamilan inilah yang membuat permasisuri makin bernafsu menyingkirkannya. Walaupun kalau dipikir-pikir, kenapa harus Putri Campa yang pergi, sedangkan selir lain tidak. Kenapa bayi dalam kandungannya ini yang harus disingkirkan, padahal ada anak-nak lain juga dari sang Prabu keturunan seliri yang punya kedudukan sama dengannya dan sang calon jabang bayi. Apa karena calon jabang bayi ini bakal jadi anak ketiga belas bagi sang Prabu? Apa hubungan angka ketiga belas dengan pengusiran ini? Apakah dia dianggap akan membawa kesialan?
Putri Campa mengelus perutnya dan membisikkan kata-kata yang lembut serta bijak bagi bayi yang dikandungnya.
Anakku, calon anakku, yang sabar ya nak. Yang sabar akan menang. yang sabar disayang Tuhan.
Perempuan muda berkulit putih dan bermata sipit dengan bulu mata lentik itu menyenandungkan beberapa lagu buaian yang dia pernah dengar dari ibunya juga para kerabatnya, yang jauh di Champa. Tentu mereka mendapatkan lagu-lagu penuh harapan dan doa itu dari para leluhurnya . ataukah mereka menggubahnya sendiri?
Tak urung air matanya leleh juga. Rasa kerinduan menyeruak dalam dadanya. Berdesak-desakan dengan rasa teraniaya yang selama ini terus dipendamnya sendiri. Tak ada tempat dia mengadu, berkeluh kesah, apalagi meminta pendapat.
Sambil mengelap basah pipi dan dagunya, Putri Campa menata barang-barang berharga miliknya dalam tas anyaman rotan. Kain-kain pemberian ayah ibunya, beberapa perhiasan dan koin-koin emas yang selama ini dia simpan dengan baik di tempat-tempat tersembunyi.
Dengan penuh kehati-hatian, dia mulai memasukkan juga satu persatu piring porselen cantik yang dia bawa dari Champa. Piring-piring porselen putih berlukiskan stilisasi flora dan fauna. Jari jemarinya meraba tekstur yang menonjol dari kuasan cat biru muda gradasi ke tua di permukaan piring porselen favoritnya. Stilisasi burung hong. burung phoenix. Dia pernah mendengar cerita dan dongeng tentang burung hong atau phoenix ini. Konon katanya meski sudah mati terbakar, burung hong dan phoenix bisa kembali hidup.
Dia ingin seperti burung hong. Dia ingin seperti burung phoenix. Meski dia dimatikan keberadaannya saat ini, meski dia dibunuh, dibakar, ditiadakan, dibuang, diusir, diungsikan, dicampakkan, dia masih akan hidup terus. Hidup lagi.
Meski sekarang dia harus pergi ke suatu tempat yang jauh bahkan menyeberangi lautan, sempat dia dengar namanya bumi Sriwijaya, dia berharap suatu saat dia akan kembali ke sini. Dia berharap akan bisa pulang.

Label: , , , , , , , , , ,

Bagaimana perasaanmu jika menjadi Putri Campa?

Bagaimana perasaanmu jika menjadi Putri Campa?

Seorang selir Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir, yang harus diungsikan ke Palembang karena sang permaisuri cemburu berat padanya.
Maka dalam keadaan hamil, Putri Campa menyeberangi lautan menuju Bumi Sriwijaya. Beliau dipasrahkan kepada Aryo Damar, putra Brawijaya V dengan seorang perempuan Bali. Alhamdulillah aku berkesempatan menziarahi makamnya di Palembang, juga mengunjungi tempat-tempat di mana dulu Putri Campa tinggal dan melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Jin Bun alias Hasan (kelak kemudian dijuluki Raden Fatah)

Karena itulah Palembang dan Demak memiliki keterikatan yang sangat erat. Saat berziarah ke kawasan makam Ki Gede Ing Suro Palembang, kutemukan stempel Jipan lambang simbol kerajaan Demak ada di salah satu dinding bata pembatas area yang di dalamnya terdapat sembilan makam pemuka dari Demak. Piring-piring keramik Cina yang menempel di dinding-dinding kayu salah satu rumah limas Palembang, mengingatkanku pada piring-piring serupa yang menempel di dinding-dinding masjid Agung Demak.
Ukiran burung Hong atau Phoenix di daun pintunya seketika membawa ingatanku pada hiasan burung hong di beberapa piring putri Campa di Masjid Agung Demak. Juga gentong-gentong Cina di beberapa sudut rumah limas Palembang, mengantarkan memoriku pada gentong-gentong Cina di kawasan makam Masjid Agung Demak.

Sebuah telaga tirta yang dulu menjadi tempat pemandian Putri Campa juga menjadi salah satu destinasi di Palembang. Tidak kujumpai pemandian serupa di Demak, karena memang tidak banyak artefak peninggalan sejarah kerajaan Demak yang masih tersisa kecuali Masjid Agung Demak itu. Di manakah Putri Campa waktu itu tinggal? Masih kucari bayangannya dalam imajinasiku dan mimpi-mimpiku.

Kalau di Palembang, bisa jadi dia menjadi bagian dari para perempuan yang dulu duduk di beranda rumah limas yang berpagar tenggalun. Di mana dia bisa melihat pemandangan dan aktifitas di luar rumah, namun orang luar tidak bisa melihatnya karena terhalang pagar tenggalun serupa jeruji-jeruji ini. Bentuknya mirip juga yang ada di rumah adat Joglo Kudus.

Kubayangkan Putri Campa membawa koleksi piring-piring keramik dan guci-gucinya itu dari Palembang menuju ke Demak, saat akhirnya sang putra saat remaja pergi ke Jawa menemui ayahnya dan mendapat tanah Pardikan Bintoro Glagah Wangi. Keteguhan, kehebatan dan doa Putri Campa tentu saja menjadi salah satu penopang bagi kesuksesan sang putra menjadi pemimpin Kerajaan Islam pertama di Jawa.

Ada enam puluh lima buah piring Putri Campa. Warna dasarnya putih dengan ornamen biru yang dilukis dengan sangat cantik. Semakin dekat kita memperhatikan detailnya, akan makin terasa keindahannya. Piring-piring ini ditempelkan pada dinding-dinding masjid Agung Demak yang berbatasan dengan serambi. Letaknya dekat dengan pintu-pintu masuk ruangan dalam masjid. Jadi ada di sisi utara, selatan juga dekat dengan pintu utama, lawang bledheg yang posisinya di tengah.

Gentong-gentong Putri Campa berwarna coklat kehitaman. Saat ini sudah tidak utuh pada bagian atasnya alias grumpil. Tidak tampak ada warna atau ornamen lain yang menghiasi permukaan gentong ini. Meskipun begitu sungguh tak terhitung nilainya karena merupakan peninggalan masa Dinasti Ming Abad ke XIV. Beberapa gentong saat ini disimpan di museum Masjid Agung Demak, dan ada juga yang diletakkan dekat kawasan makam Raden Fatah. Sebagian masyarakat meyakini meminum air dari dalam gentong ini membuat awet muda, panjang umur, terkabul doanya dan lain sebagainya.
Bagaimana rasanya sejarah tentang dirimu disalah pahami oleh orang orang dengan sedemikian rupa. 
Kenapa ada yang menyebutmu sebagai putri campa, padahal ada putri campa lainnya yang menjadi permaisuri brawijaya v dan justru membuatmu terdepak dari kerajaan majapahit karena kecemburuannya yang sudah tak bisa tertahan lagi.

Memgapa dari semua selir raja brawijaya v, hanya putri cina atau sebut juga sebagai putri campa selir ini dicemburui putri campa permaisuri? Kenapa bukan selir selir yang lainnya?
Apakah karena mereka sama sama berasal dari campa? Champa? Etnis champ yang terkenal kehebatannya dalam berdagang dan memiliki darah pejuang. Punya watak keras yang gigih memperjuangkan impian dan cita cita mereka, bahkan sampai menyeberang samudra dan melanglang buana.

Ataukah karena putri campa selir begitu dicintai, digandrungi oleh raja brawijaya v sehingga putri campa permaisuri merasa terancam. Feeling insecure.

Atau karena putri campa selir mengandung bayi ketiga belas raja brawijaya v. Dan kini memasuki usia kehamilan tiga bulan, sedangkan putri campa permaisuri bahkan belum hamil meski sudah menikah dengan raja brawijaya v selama bertahun tahun.
Mana sesungguhnya penyebab yang paling bemar dan alasan yang paling tepat.
Ataukah semua akumulasi alasan dan sebab itu justru yang membuat putri campa permaisuri tak punya lagi alasan untuk tidak menyingkirkan putri campa selir.

Bagaimana rasanya menjadi seorang Putri Campa yang pernah dicampakkan namun kemudian memetik buah dari kesabarannya? Menjadi bagian dari bi’ah, lingkungan yang bukan saja relijius spiritual saat itu, namun tetap memiliki pride kebanggaan atas identitas diri yang tak lepas dari asal muasalnya, seorang keturunan Campa, Cina.

Label: , , , , , , , , , ,

Selasa, 29 Oktober 2019

THE OLD CITY AND THE YOUNG MAN

THE OLD CITY AND THE YOUNG MAN

Oleh Dian Nafi

Memasuki kota tua ini, bayangan wajahnya semakin lekat dalam benak dan bahkan tampak nyata dalam pandangan mataku yang terpejam. Lesung pipitnya yang dalam, senyum yang khas dengan gigi gingsulnya, lengan kukuh dengan jemari lentiknya, bulu lembut di kulit coklatnya, kepasrahannya akan lekukanku yang luwes tiap pagi yang dingin dan senja yang meluruh. Lelaki muda itu, kukira aku yang mematahkan hatinya. Namun saat ini bisa kurasakan, akulah yang terbenam dalam ketidakadilan rekayasa ini. Aku yang terbujur kaku dalam kenangan yang tak mau sembunyi. Kental dan semakin mencengkeram kuat ketika diriku berada seinchi demi seinchi lagi memasuki kampung tempat tinggalnya, tempat aku pernah setahun menghisap kehangatan dan keluguannya.

**

“Apa artinya ini, mbak?”

Matanya yang sendu dan sayu mencari jawab dari rengkuhanku yang tiba-tiba begitu saja mengalun di bawah langit biru kota paling eksotik yang kukenal.

“Bukan apa-apa”

Tak mungkin menyembunyikan semburat malu di pipi karena bagaimanapun aku adalah perempuan. Meskipun usiaku lebih tua darinya empat tahun. Tapi bukan aku namanya jika tak mampu menutupi kebusukan  ‘gejolak muda berangkat dewasaku ‘.

Dia hanya mendesah. Mungkin menikmati. Mungkin merasa berdosa. Atau entah apalagi yang dipikirkannya, aku tak tahu. Dan karenanya segera kulepas rengkuhanku tapi ia malah menarik tanganku kembali.

“Mbak keberatan?” tanyanya takut-takut.

“Sudah siang. Aku masuk dulu ya. Kamu juga harus ke kampus kan? Jangan sampai terlambat. Terima kasih ya sudah mengantarku.”

Aku tetap menarik tanganku, bahkan turun dari boncengan motor gedenya dan mengusirnya secara halus. Garis wajahnya terbaca sekali, kecewa dan murung. Tapi ia bergegas melibasnya dengan senyuman manisnya.

“Aku yang terima kasih. Nanti sore mau dijemput jam berapa?”

Oh. Anak yang manis dan tawaran yang juga manis sekali.

“Tidak. Terima kasih. Aku pulang sendiri saja. Hati-hati di jalan ya”

Kulambaikan tanganku dan berharap ia segera pergi dan berlalu. Aku tak mau ia membaca isi kepalaku kalau aku hanya memanfaatkannya saja. Bagaimanapun ia anak yang sangat baik, lugu. Dan entahlah, membaca sikapnya, bisa kupastikan  mungkin aku wanita dewasa pertama dalam kehidupannya. Mungkin ia dulu hanya pernah mengalami cinta monyet saja karena aku pernah mendengar dari sepupuku yang tetangganya – aku tinggal bersama sepupuku ini- bahwa Radindra-nama cowok itu- pernah punya pacar yang tetangganya juga.

Radindra punya kriteria cowok yang aku sukai kecuali satu, ia terlalu muda. Dan jelas-jelas tidak masuk criteria bagi ibuku yang konservatif. Dan aku, tak pernah sekalipun menggugat ibuku dan aturan-aturannya karena aku gadis puritan. Di dalam diriku yang Nampak lincah, bebas, merdeka dan berpikiran moderat, sesungguhnya aku ada di garda depan pendukung pikiran –pikiran kuno perempuan ini. Yang kepadanya aku berhutang banyak, yang di telapak kakinya tersimpan surgaku.

**

Kuhirup udara kota tua yang tak pernah tidur ini. Dari setiap sudutnya, setiap jalan yang kulalui, setiap pohon dan kafe –kafe itu, semua kenanganku akannya tersembul menggoda. Padahal aku datang kembali bukan untuknya. Kami datang untuk acara buka bersama di rumah nenek yang kutinggali bersama sepupuku sewaktu aku bekerja di kota ini.

Aku beserta seluruh keluargaku menempuh jarak tujuh puluh kilometer untuk buka puasa bersama keluarga besar. Hal yang mulai ditradisikan agar ikatan kekeluargaan tetap terjalin meski kami tinggal berjauhan. Biasanya kami datang hanya pada acara-acara penting saja. Seperti setahun yang lalu, saat pemakaman nenekku.

Saat itu lelaki muda yang pernah kukelabui perasaannya- Radindra- juga hadir. Ia yang tinggal bersama ayah ibunya di rumah yang hanya selisih delapan rumah dari rumah nenekku bahkan ikut sibuk dalam upacara penghormatan sampai pemakaman. Aku bisa menangkap kerinduan di matanya ketika tak sengaja kami sesaat bersirobok pandang. Namun hanya luruh yang mungkin dirasakannya karena aku  duduk bersama seorang pria yang tak kalah tampan darinya. Gery, tunanganku.

Ia, lelaki muda yang lembut hatinya itu, merasa terkelabui sekali lagi.

Yang untung lagi-lagi aku. Karena  Gery memperlakukanku  begitu istimewa setelah ia tahu ada seorang muda ganteng yang begitu menggilaiku. Sepupuku-Lily- yang menceritakannya setelah tunanganku itu mempertanyakan keganjilan yang ia tangkap dari bahasa tubuh dan sorot mata seorang lelaki muda di tengah kedukaan hari itu.

**

Tapi siapa yang tahu jalan takdir. Gery  yang menyayangiku sepenuh hatinya malah pergi tanpa pamit. Ditinggalkan Gery begitu saja, tak ayal membuatku limbung. Aku gadis penakluk dan pematah hati. Jadi kepergian Gery sama sekali jauh dari dugaan dan perkiraanku. Kami hanya tinggal beberapa minggu menuju pelaminan. Tapi Tuhan merengkuhnya sebelum aku.

Tak harus memakan waktu lama untuk menyembuhkan luka ternyata. Berkunjung kembali ke kota tua ini tiba-tiba sebersit harapan timbul. Secercah cahaya menyinari relung kalbuku yang gelap beberapa waktu lalu. Aku masih punya Radindra. Radindra yang menggilaiku. Ia mungkin menungguku untuk kembali padanya.

**

Seusai berbuka bersama, langkah kakiku ringan menuju masjid di seberang rumah nenek. Sholat berjamaah maghrib dilanjut sampai Isya dan tarawih di masjid AlFurqon akan menyenangkan sekali kurasa. Karena semuanya lagi-lagi akan membawa kembali kenanganku bersamanya.

Ia yang rajin mengajar TPQ di masjid ini, menjadi muadzin yang paling rajin, dari kompor semangatnya para remaja rajin berjamaah dan meramaikan masjid dengan berbagai acara. Burdah  tiap malam jumah, latihan khitobah bergantian setiap jumat malam, majalah dinding, diskusi juga kajian rohani dan latihan rebana setiap minggu pagi setelah kerja bakti bersih-bersih lingkungan masjid.

**

Remaja masjid yang dipelopori Radindra mengadakan rihlah di suatu akhir pekan saat aku masih anyar tinggal di lokasi ini. Ia yang menjadi teman pertamaku di tempat baru mengajakku ikut serta dan aku tak kuasa menolak. Radindra telah dengan baik hati mengantarku ke kantor beberapa kali. Kadang dengan vespa tuanya, kadang dengan motor gedenya.

Di pantai Baron Yogya, aku tak bisa menahan keliaran-keliaranku. Berjalan berdua dengannya di tepi pantai yang indah dan langit biru yang cerah, mungkin itulah penyebabnya.

“Belum pernah ke sini, mbak? Indah kan?” tanyanya lugu.

“Belum. Memang indah sekali. Seandainya aku datang ke sini dengan seorang kekasih, betapa lebih indahnya” jawabku spontan.

Satu komentar kecil nakalku itulah yang kukira membangkitkan sesuatu yang tidur dalam dirinya. Aku bisa menangkap dari bahasa tubuhnya yang tak mau jauh-jauh dariku padahal teman-temannya yang sama-sama muda mengajak berlarian, bermain dan beraktifitas lainnya. Ia memilih duduk denganku yang paling tua dalam rombongan ini, di atas pasir putih dengan pemandangan pantai serta laut yang eksotik, membincangkan apa saja dari yang remeh temeh sampai hal-hal yang agak berat.

Bisa ditebak gunjingan teman-temannya sepulang rekreasi itu. Si jangkung idola sekampung berwajah manis serupa artis itu kepincut hatinya dengan seorang pendatang baru di kampung mereka yang usianya lebih tua dan dari lagak perempuan dewasa itu bisa menarik sekaligus beberapa pria. Itu karena ketika perjalanan rekreasi sampai di Malioboro, Radindra kehilangan jejakku dan aku berhasil ditemani Divo yang tinggi besar dan seorang pemain band. Berburu batik, souvenir dan bakpia pathok. Waktu singgah di pantai Kukup, adik lelaki Radindra- Yahya- yang menemaninya mencari kerang dan kerakal yang bagus-bagus untuk dibawa pulang.

Efek dari akhir pekan kontroversial itu langsung terwujud Senin ketika ia mengantarku ke kantor. Pagi itu ia seperti seorang penderita obsesif kompulsif, menghujaniku dengan banyak pertanyaan aneh, mempertanyakan kedirian dan kemauanku, ke mana arah anginku. Dan aku tak bisa menjawab kecuali dengan rengkuhan dari arah punggungnya. Mungkin hanya untuk menutup mulutnya yang tiba-tiba ceriwis dan menggangguku, mungkin juga karena tiupan dingin angin pagi yang menampar wajah dan tubuhku di boncengan motor gedenya yang melaju di bawah langit biru kota tua yang eksotis.

**

“Aku harus pulang”

Kusentakkan lembut tangannya yang mencoba menghalangiku pergi. Ibuku membutuhkanku di kampung halamanku sendiri sepeninggal ayahku yang terenggut bersama penyakit jantungnya.

Radindra menatapku perih. Aku resign dari kantor secara tiba-tiba dan melepasnya begitu saja dari rutinitasnya mengantar-jemputku tiap pagi dan sore karena kampusnya searah dengan kantorku. Ia akan kehilangan momen-momen bersama tanpa kejelasan hubungan yang pasti. Dan aku bahkan seperti menemukan jalan untuk melarikan diri.

**

“Mbak, aku sudah sampai depan rumah”

Suara dari seberang telpon yang kuangkat siang itu kukenali dengan mudah. Suara resah mendesah pemilik lelaki muda yang tak pernah lelah menjamah angkuhku yang jengah. Rumah siapa? Pikirku. Lalu kudengar suara ketukan di pintu rumahku.

Oh!

“Radindra!” teriakku kecil.

Ia yang basah kuyup oleh hujan berdiri dengan tegap di hadapanku. Setelah telpon dan sms-nya tak pernah kujawab. Aku baru akan mengucapkan kalimat pengusiran halus tetapi kalah cepat oleh suara ibuku.

“Radindra! Masuk, nak. Kok hujan-hujanan begitu? Sendirian?”

Ibu yang mengenalinya sebagai  tetangga nenek di kota tua, menyuruhnya masuk. Mengambilkannya handuk, membuatkannya teh hangat, menyuruhnya mandi dan berganti baju yang disiapkan ibu, menemaninya duduk dan bercakap. Bahkan memintanya menginap.

Apa –apaan ibu? Pikirku. Bukankah ibu menjodohkan aku dengan Gery? Meski aku belum sepenuhnya setuju dengan pilihan ibu karena aku yang terbiasa seperti elang terbang di lautan bebas belum siap untuk berdiam dalam satu sarang.

  Lalu kenapa ibu sedemikian baik dengan Radindra? Padahal ibu tahu persis cerita dari sepupuku Lily dan juga sedikit bocoran dariku bahwa Radindra sangat mungkin sekali menaruh hati denganku.

“Radindra tahu apa yang harus dipersiapkan untuk menuju pernikahan?” tanya ibu sampai pada suatu paragraph setelah berbanyak busa antaranya dan Radindra, lelaki muda yang sedang berjuang mencari dan mengambil hati orang tua di depannya.

“Saya akan lulus tahun depan dan segera mencari pekerjaan” jawabnya mantap. Aku hanya mengangkat bahu di samping ibuku yang tersenyum. Entah apa arti senyumnya. Karena pagi harinya, sesaat setelah lelaki muda itu berpamitan, ibu masih tetap dalam keputusannya untuk menjodohkan aku dengan Gery. Dan aku terpaksa menuruti ibu untuk memutuskan semua kontak dengan Radindra. Ganti nomer ponsel sesudah secara jelas dan tegas menyampaikan fakta  kepadanya bahwa aku sudah dijodohkan dengan orang lain sehingga tak ada peluang untuknya mendekatiku lagi.

**

Sudah lama berlalu tetapi tatapan penuh kerinduan miliknya masih kusimpan erat dalam ingatanku. Dengan Ulin-sepupuku yang lain- yang tinggal di kota tua ini aku berbincang menjelang berbuka bersama di sudut kamar tamu. Aku mencoba mencari tahu kabar Radindra. Hanya sedikit-sedikit saja sentilanku di antara percakapan hal lainnya karena kuatir dicurigai dan diledek. Itupun ternyata tertangkap Ulin dan ia akhirnya meledek juga.

“Aku kirimkan salam untuk dia ya mbak” godanya sambil cengengesan.

“Eh…jangan…jangan…” malu hati juga aku. Tapi aku tahu Ulin hanya bercanda. Ia cuma meledekku.

**

Seusai sholat maghrib, mataku berkeliling mencari sosoknya yang sangat kukenal. Biasanya dulu dia yang mengumandangkan adzan dan iqomah. Mungkin setelah berlalunya waktu ada banyak mereka yang lebih muda yang menggantikannya. Jarak antara jamaah pria dan wanita agak jauh. Meski demikian pandangan bebas karena terpisah oleh pintu kaca full dari ambang atas sampai bawah.

Aku berusaha tenang dalam dudukku yang gelisah. Tetapi mataku tetap bergerilya. Ada banyak wajah-wajah lama. Nenek –nenek tua yang selalu kami hormati dengan mencium punggung tangannya. Wajah-wajah baru bermunculan termasuk seorang gadis cantik yang duduk di dekatku. Aku dulu belum pernah melihatnya di lingkungan ini. Mungkin sama sepertiku dia sedang berlibur di rumah neneknya untuk suatu acara atau apa. Tampaknya ia sangat pendiam sehingga aku tak mengajaknya berbincang. Apalagi orang-orang tampak khusyu dan alasan lainnya adalah aku akhirnya melihat sosok yang kucari. Radindra. Masih setampan dulu, setegap dulu. Aku bisa mencium bau tubuhnya dari jarak yang jauh dan terhalang pintu pintu kaca itu. Terendus begitu saja. Hanya tampak samping belakang, tapi cukup mengobati kerinduanku. Astaganaga, apa kubilang? Nhah! Ternyata aku juga merindukannya.

Dia sekarang harapanku. Setelah pernikahan yang gagal dengan Gery, setelah limbungku, tak ada salahnya kembali pada Radindra. Peduli amat dengan peraturan ibu tentang suami yang harus lebih tua dari istri. Aku mungkin akan menentangnya kali ini. Kebahagiaan akan tercapai jika kita menikah dengan orang yang mencintai kita, begitu kata-kata bijak yang sering kita dengar.

**

Turun dari jamaah sholat tarawih, aku berjalan pelan. Dan benar seperti dugaanku, Radindra menemukanku.

“Mbak. Apa kabar?” tanyanya menghentikan langkahku. Kini kami berdiri  berhadapan di depan teras rumah nenek yang berseberangan dengan masjid.

“Alhamdulillah, baik. Kamu apa kabar?” aku menyembunyikan getar di balik suaraku yang menahan kerinduan.

“Alhamdulillah sehat. Kapan datang, mbak?”

“Tadi sore.”

Hening. Kami seperti tercekam, terseret kenangan saat-saat kami bersama.

“Masih sering nyinom ?” tanyaku memecah kebisuan. Dulu ia biasa memimpin remaja masjid dan juga remaja kampung untuk menjadi tim pramusaji di acara kondangan dan perhelatan pesta yang banyak digelar di kota tua ini. Sungguh anak muda yang berdedikasi tinggi. Pekerjaan yang sering dianggap rendahan itu dikerjakannya dengan rapi dan penuh senyum keramahan. Dikerjakannya penuh cinta, seolah nyinom melayani menghidangkan sajian bagi tamu-tamu ini seperti sebuah pekerjaan seni yang agung.

“Alhamdulillah, masih. Tapi seringnya hanya berada di balik layar dan meja, mbak. Teman-teman bisa dilepas sendiri, saya mengatur jadwal dan lobi-lobi saja” jawabnya santun, khas dirinya. Rendah hati.

Rupanya ia sudah naik pangkat jadi manajer dan mungkin kantornya sendiri dengan armada tim yang kompak karena telah ia pimpin dan kelola sejak ia masih mahasiswa. Ini berita bagus buatku.  Akan jadi poin tambahan jika aku mengajukannya nanti di hadapan ibu.

“Eh, Yahya juga kebetulan pas pulang. Ia kerja di Jakarta. Itu dia..” telunjuknya yang lentik menunjuk ke  seorang pemuda, tampak siluet  Yahya di lorong jalan kampung yang gelap pada beberapa sisi.

“Kupanggilkan ya….” Ia menawarkan sesuatu. Apa ia masih menyimpan cemburunya pada Yahya karena selama setahun waktu di sini dulu diam-diam aku juga sering berboncengan dengan Yahya. Double kencan buatku biasa. Tetapi mengencani dua kakak beradik ini memang pengalaman excited bagiku. Gila benar memang, adrenalin terpacu dan main petak umpet yang nyaris sempurna. Mungkin baru ketahuan setelah aku pergi meninggalkan kota tua ini waktu itu. Mungkin mereka berdua berbagi cerita dan ah, itu pasti menggelikan dan sekaligus tragis.

“Nggak usah ah. Aku senang bertemu kamu lagi” aku langsung menandaskan ini supaya ia tahu bahwa hatiku tetap lebih cenderung padanya disbanding adiknya.

“Aku juga” pendek kalimatnya cukup menghentikan waktu. Seakan dikungkung awan pekat hangat, aku terpaku. Kurasa pipiku memerah, untung tersembunyi di bawah langit gelap karena lampu jalan kampung hanya temaram. Mata dan tatapan kerinduannya menusukku. Harum tubuhnya dalam jarak dekat ini menerbangkanku ke langit ketujuh. Hari –hari indah bersamanya di masa mendatang menggoda jiwa. Radindra. Akhirnya waktu mempertemukan kita kembali.

“Yuli…sini. Ini mbak Fina” cowok itu memanggil seorang gadis yang tampak turun dari masjid, dengan isyarat tangan menyuruhnya mendekat.

Keningku berkerut, dadaku berdegup. Cewek yang mencium punggung tanganku ini ternyata gadis cantik yang duduk di dekatku waktu sholat tarawih tadi. Dari sikapnya kepadaku kini kentara sekali  kalau ia menaruh hormat dan simpati padaku. Entah apa yang diceritakan Radindra tentangku padanya. Dan yang lebih penting lagi, siapakah gadis ini? Sepupunya yang tinggal sementara di rumah keluarga Radindra kah?

“Saya pulang dulu…” gadis yang dipanggil dengan nama Yuli itu berpamitan, terutama kepada Radindra kurasa. Ada sedikit cemburu menyelip di dadaku. Gadis itu cantik, muda. Ia lebih cocok untuk Radindra dibanding aku.

“Yo wis, ya sudah sana….” Jawab Radindra dengan gerakan tangan mengusir gadis itu pergi. Bagus, pikirku. Setengah jam berbincang di pinggir jalan depan rumah nenekku kini bisa berlanjut berdua saja dengan Radindra.

“Siapa itu?” tetap saja keingintahuanku harus terjawab. Aku siap bersaing sehat.

“Siapa? Yuli? Istriku, mbak” jawabnya tanpa dosa, lugu seperti dulu.

Aku segera berpamitan. Meninggalkan Radindra tergugu di tepi jalan karena ia tampak masih ingin melanjutkan obrolan denganku tetapi aku memutuskan pergi sebelum menangis.

Bergegas aku masuk ke dalam rumah nenekku dengan tergesa-gesa. Menghambur ke dalam kamar tamu dan menemukan Ulin masih tiduran di sana.

“Kamu jahat ya Lin. Kenapa tidak bilang kalau ia sudah menikah?” ucapku lirih kuatir terdengar banyak orang.

“Siapa? Siapa yang menikah?” tanya Ulin pura-pura polos. Lalu tersenyum tengil.

“Mbak kan nggak tanya ia sudah menikah atau belum?”

Kutonyo kening sepupuku dengan pelan pura-pura marah sambil menahan tangis dan luka di dadaku. Kota tua ini dan lelaki muda itu, ah perihnya.

Label: , , , , , , , , , , ,

Kamis, 05 September 2019

SelaSA eSAi






SelaSA eSAi

Sore : 15.30 – 17.30 WIB


Hasfa Camp: Cempaka 8/D3 Perum Wijaya Kusuma 2 (belakang SMAN 1) Demak


Lokasi : https://g.page/HASFA
Daftar:  klik  bit.ly/wahasfa
**

Pilihan kelas Hasfa Camp lainnya:
senEN cerpEN
selaSA eSAi
raBO BlOG
kamIS jurnalIS
jumAT curhAT

sabTU TUlis buku
mingGO GO digital
ahad NyOre NOvel

**


**

Ingin mengundang dan bekerja sama juga untuk kelas dan sharing kepenulisan, seminar, pelatihan? klik  bit.ly/wahasfa

atau SMS/WA 081328767574

atau line diannafi57 untuk terhubung langsung dengan nara sumber

**

Mau ikut pelatihan-pelatihan bermanfaat?
Daftarkan diri segera ke Hasfa Camp!
Butuh space, meja dan layanan internet untuk start-up mu?   
Butuh teman dan mentor untuk networking dan brainstorming?
Yuk gabung ke Hasfa Coworking Space

Follow also our sosial media account:
FB page : https://www.facebook.com/HasfaCreative
Twitter: https://twitter.com/hasfa_camp
Blog: http://hasfacreative.blogspot.co.id/
Web: http://www.hasfa.co.id/
IG: https://www.instagram.com/hasfacreative/

Label: , , , ,

Minggu, 24 September 2017

Ketika Rasa Bertahmid



Ketika Rasa Bertahmid
Cerpen by Risma






Aku bukanlah wanita yang sepenuhnya baik. Akhlakku belum sesempurna wanita lainnya. Namun, aku selalu belajar untuk lebih mencintai dan mentaati Sang Ilahi Rabbi. Memperbaiki sedikit demi sedikit untuk hijrah dan mengokohkan istiqomah kepada-Nya. Nafisya Khumairah, itu namaku. Aku biasa dipanggil Fisya. Aku bertempat tinggal di Demak, bersama keluarga Budhe Imah. Aku memang jauh dari orang tua, problem yang terjadi mau tak mau harus membuatku berpikir lebih dewasa lagi dan positif dalam menyikapi keadaan sekitar. Ibu, Bapak, dan mas Ryan tinggal di Jakarta. Mereka hanya pulang jika lebaran atau ada kepentingan saja. Rindu itu abu-abu aku kurang berseni untuk mengungkapkannya selain dalam sujud sajadah terbentang.
Malam itu aku tengah menonton acara pertandingan pencak silat di salah satu Gor kota Kudus. Inilah hobi yang kusukai sejak SMP. Menekuni hobi tersebut terkadang membuatku harus ikut terjun dalam event-event tertentu.
Aku menonton bersama saudara lainnya “Sya, ayo kita kesana. Kasih support ke Alif.” Aku hanya menganggukan kepala, sebetulnya aku tak begitu mengenalnya. Namun, aku tetap melihat dan men-supportnya sebagai saudara seperguruan pencak silat.

Jum’at sore, aku berlatih bersama teman-teman. Itu kedua kalinya aku bertemu pemuda yang sama. Awalnya aku tak mengerti nama pemuda itu kemudian aku bertanya pada pelatihku. Alif namanya. Sela-sela latihan, kulihat ia kurang fokus dan sesekali mendapat teguran dari pelatihku. Bahkan juga diejek karena pelatihku menebak ia gerogi saat latihan bersamaku. Aneh memang

Keeseokannya, saat di sekolah aku membuka salah satu akun sosmedku. Dinotifikasi aplikasi tersebut terdapat satu pesan, lalu ku buka pesan tersebut agak asing aku dengan nama yang tertera dalam identitas sosial medianya. “Dek fisya ikut ujian kenaikan sabuk?” begitulah isi pesan tersebut. Saat itu aku memang akan mengikuti ujian teks sabuk yang diselenggarakan di perguruan silatku. Aku bingung dari mana ia mengerti nama sosial media ku…. Akhirnya selang waktu berjalan kami berdua terkadang saling berkomunikasi, namun hanya beberapa kali saja. Aku heran ia selalu menutupi identitasnya, namun aku tak mengambilpusing menurutku biarlah waktu yang menjawab.

“kamu memang tidak mengnalku, tapi seiring waktu berjalan dengan sendirinya kamu akan mengenalku.” Ucapnya tempo hari lali

Aku hanya menurut dan mempercayainya saja, menurutku ia begitu misterius.

Akhir dessember lalu, kami sudah jarang berkomunikasi. Sudah 2 minggu lebih kami loss  contact, pada saat itulah rasa ini tiba-tba hadir. Aku benci itu…… aku sudah mengetahui namanya, ia adalah Alif Muhammad Syaibani. menghilang setelah rasa itu hadir

Ia sosok pemuda religius, terbilang lucu, penasehat, penyemangat dan sulit sekali untuk ditebak. Lamanya tanpa kabar “Sya, kamu ada dirumah?” tanya Krisna lewat via chat

“aku lagi dikost Kris, ada apa?” balasku

“Aku mau kerumah kamu sama Alif, yaudah gapapa. Alif titip salam buat kamu.” Balas krisna yang membuat ku terkejut

Pemuda yang sekian lamanya tanpa kabar, dengan anehnya tiba-tiba datang kerumah. Entah apa yang ada dipikiran pemuda itu, aneh

“Assalamualaikum, Fisya pulang budhe.” Ucpku ketika sampai dalam rumah “Waalaikumsalam, iya nduk. Kemarin itu lho ada 2 pemuda datang kesini, yang satu ganteng lucu pakaiannya rapi sama satu lagi yang pernah kesiini waktu puasa dulu tapi, budhe lupa namanya nduk.” Ujar budhe Imah

“Nggeh budhe, itu temen Fisya. Namanya Alif yang budhe bilang ganteng lucu itu sama yang satunya namanya Krisna.” Ujarku sambil tertawa pelan

“Oalah, iyoyo nduk kamu juga dibawain oleh-oleh sama anak ganteng itu lho. Budhe taruh diatas nakas lemari.” Balas budhe

Aku bingung apa yang dia bawakan untukku, sambil kubawa ke ruang tamu ternyata isi bingkisan itu buah-buahan dan beberapa makanan lokal Kudus. Aku tertawa dalam hati, sungguh menggemaskan tingkah pemuda itu

            Awal puasa Ramadhan telah tiba, kami semakin menjaga jarak. Membatasi antara percakapan kami berdua

“Assalamualaikum, gimana kabarnya Fisya?” tanya nya lewat via whatshapp “Waalaikumsalam. Alhamdulillah Fisya baik, kamu gimana?”

“Doakan saja, semoga slalu dalam lindungan Nya” balasnya

Jujur saja aku cukup senang ketika mendapat pesan dari pemuda itu. Rindu yang bersemayam takut sekali untuk diungkapkan, malu rasanya jika mengatakan, maka dari itu aku sering mendoakan secara diam-diam

“Assalamualaikum” isi pesan  darinya
“Waalaikumsalam” balasku
“Gimana puasanya Sya, penuh apa ndak?” tanyanya
“Alhamdulillah, kalo begitu aku ingin menitipkan sesuatu kepada mu. Tolong jaga dan rawatlah barang tersebut.” Ujarnya misterius
“Apa itu?” tanya ku penasaran
“Nanti kamu akan tahu sendiri” balasnya

Aku bergumam dan bertanya-tanya apa yang akan diberinya, tapi, ahsudahlah ingat Fisya jaga perasaanmu……………Kecuali pada Nya, rasa itu memang fitrah tapi alangkah baiknya engaku jangan sampai menodai rasa tersebut dengan hal yang tidak baik.

            Menjelang hari Idul Fitri, hari yang suci dimana manusia saling memaafkan untuk menuju fitrahnya yang suci. keesokannya setelah sholat ID, pemuda itu menepati janjinya. Ia datang kerumah membawa bingkisan barang yang ia bicarakan dulu “Fisya, jaga barang ini baik-baik ya” hanya itu saja yang diucapkannya

“Baiklah Alif, terimakasih ya” balasku sambil tersenyum

Setelah itu ia pamit dari rumahku. Aku tak buru-buru membukanya kuletakkan dahulu diatas meja kaca ruang tamu.  Adzan dhuhur berkumandang, kuambil air wudhu kutunaikan terlebih dahulu kewajiban yang diperintahakan Allah SWT

Lalu kubuka bingkisan tersebut, sebuah Al-Qur’an sederhana namun memiliki sampul coraj yang indah. Aku sangat menyukainya

“Bacalah, amalkan, kalo bisa dihafalkan juga.” Isi secarik kertas yang ada didalam bingkis Al-Qur’an tersebut

“Makasih Alif, aku sangat menyukainya. Insya Allah aku akan belajar sedikit demi sedikit” ucapku lewat via chat  

“Iya, sama-sama J”  balasnya

Setelah itu, mungkin kita sama-sama memperbaiki diri untuk lebih baik lagi dihadapan Nya. Entah siapa yang memulai kami mulai menjaga jarak/ dari situlah aku mengerti, tidak harus sepasang remaja mempunyai ikatan yang belum baik. Sebagai remaja, terus perbaiki diri dan perbanyak ilmu untuk masa yang akan datang.

“Rindu itu memang biasa, tak apa Fisya. Tidak apa-apa jika kamu menghubungiku duluan. Doakan saja dan lebih baik mengaduh kepada Nya.” Ucapnya tempo hari lalu

Aku mengerti, ya. Aku akan berpegang teguh pada prinsipki, insya Allah menjaga batasan dan saling mendo’akan. Sulit mengatasnamakan rasa itu, tidak terkecuali kepada Sang Illahi Rabbi………


 **

Untuk kerjasama  dengan DeMagz
For reservation,  review and any other collaboration, please do not hesitate to contact at 085701591957 (sms/wa) 
DM twitter @DeMagz_
Line: diannafi57 
Email: demagzcie@gmail.com


Label: , , , , , , , , , , ,